Dahulu di sebuah hutan yang lebat, hiduplah seekor induk kucing
dengan anaknya. Induk kucing itu sangat menyayangi anaknya. Dialah yang mencari
makan untuk anaknya meskipun anaknya sudah mulai besar. Karena selalu bekerja
keras untuk mencukupi kebutuhan mereka, induk kucing itu akhirnya sakit. Induk
kucing itu lalu memanggil anaknya. Dia memberitahu tentang sakitnya dan
menasehati anaknya agar belajar mencari makan.
Anak kucing
yang manja dan malas itu keliru menerima nasihat ibunya. Ia merasa ibunya
mengusir secara halus dan tidak sayang lagi kepadanya. Anak kucing itu lalu
pergi meninggalkan induknya yang tua dan sakit-sakitan.
Anak kucing
itu berjalan tak tentu tujuannya. Suatu saat ia mendongakkan kepalanya ke atas.
Dia lihat sinar matahari dengan sinarnya menyilaukan. Dia berangan-angan kalau
ibunya matahari, tentu hidupnya akan senang.
“Wahai,
matahari yang perkasa maukah kamu mengambil aku sebagai anakmu?” Katanya
lantang kepada matahari.
“Mengapa
kamu ingin menjadi anakku?” Jawab matahari
“Karena aku
ingin menjadi perkasa seperti engkau.”
“Di dunia
ini aku tak selalu menang , tidak selalu perkasa. Masih ada yang bisa
mengalahkan aku.”
“Siapakah
itu?” Tanya si anak kucing.
“Awan. Awan
sering menutupi wajahku sehingga tidak tampak olehmu.”
Mendengar
jawaban matahari seperti itu, kucing itu mulai berpikir-pikir. Kalau begitu
awan saja yang menjadi induknya. Dia pun mulai mencari awan dan bertanya kepada
awan
“Awan yang
baik hati, maukah kau menjadi ibuku?”
“Mengapa?”
Tanya awan
“Kata Matahari
kamu lebih hebat dari dia”
“Oo.. Kucing
yang manis, masih ada yang bisa mengalahkan aku di bumi.”
“Siapa Dia
?”
“Angin! Jika
angin datang menyerang, maka tubuhku tercerai-berai. Aku diterbangkan ke
sana-kemari hingga hancur lebur menjadi air.”
Anak kucing
itu diam saja mendengar keterangan awan . Dia berpikir lagi. Lalu ia berlari ke
arah angin yang bertiup kencang.
“Angin, angin,
maukah kamu menjadi ibuku?”
“Apa sebabnya
kamu ingin menjadi anakku?”
“Karena kamu
bisa bebas ke sana-kemari dan lebih hebat dari pada awan.”
“Jangan kamu
kira aku selalu senang. Aku pun masih sering punya masalah karena masih ada yang
lebih hebat dari pada aku.”
“Siapakah
dia?” Tanya anak kucing itu dengan penasaran.
“Bukit.
Bagaimana pun bebasnya aku bergerak, namun jika di depanku ada bukit, aku tak
bisa meneruskan perjalananku.”
Mendengar
kata angin itu, anak kucing tersebut segera berlari-lari ke arah bukit yang
tinggi. Dan dia pun bertanya kepada bukit tersebut
“Bukit yang
tinggi, maukah kamu mengangkat aku sebagai anakmu?”
“Apa yang
kamu harapkan dariku?” Tanya bukit itu.
“Kamu gagah
dan kuat. Aku ingin seperti engkau.”
“Hidupku pun
tak lepas dari masalah. Masih ada yang sering mengganggu ketenanganku.” Jawab
bukit itu.
“Benarkah ?
Siapa Dia?”
“Kerbau. Dia
sering menanduk badanku hingga rusak dan rata dengan tanah.”
Kucing
itupun segera berlari ke arah kerbau yang ditambatkan. Nafasnya sudah mulai
tersengal-sengal tetapi ia tak peduli. Setelah bertanya kepada kerbau, ternyata
kerbau itu menyatakan bahwa rotan yang mengikat itulah yang membuat hidupnya
tak tenang.
Lalu anak
kucing itu berlari ke arah rumpun rotan. Menurut rotan, hidupnya pun tak
senang, karena sering digigiti oleh serombonga tikus hingga badannya sakit
semua. Mendengar jawaban rotan, kucing itu segera berlari ke arah lubang tikus.
Di situ ada sebuah keluarga tikus. Anak kucing itu lalu mengutarakan maksudnya.
“Wahai
tikus, maukah mengangkatku sebagai anak?” Induk tikus itu curiga, ada kucing
ingin menjadi anak angkatnya.
“Apa tidak
keliru bicaramu itu?” Tanya induk tikus waspada.
“Tidak. Saya
bermaksud sungguh-sungguh” Jawab si anak kucing.
“Hidup kami
juga sering ditimpa kemalangan. Di hutan ini ada binatang yang sering membunuh
anak-anak kami menjadi santapannya.”
“Benarkah?
Siapa pemberani itu?” Tanya si anak kucing.
“Di hutan
ini ada seekor kucing tua yang sangat ditakuti anak-anakku. Beberapa hari ini
anak-anak kami bisa bermain-main di luar karena kabarnya kucing betina tua itu
kini sakit-sakitan. Apalagi anak satu-satunya yang paling disayangi meninggalkan
dia. Kucing tua itu tampak menderita sekali. Sementara anaknya mencari
kesenangan sendiri, tidak tahu terima kasih kepada ibunya.”
Mendengar
keterangan yang panjang lebar itu, si kucing terduduk lemas. Dia sadar sekarang
bahwa tindakannya selama ini keliru. Tak terasa matanya berlinang air mata. Ia
merasa rindu sekali kepada ibunya. Dia merasa sangat berdosa kepada ibunya.
Tanpa
mengingat letih, dia segera mencari ibunya. Dia tidak lagi menjadi kucing yang
manja dan malas.
0 komentar:
Posting Komentar