Bunda Sejati - Bengkulu

Kamis, 20 Maret 2014
Dahulu di sebuah hutan yang lebat, hiduplah seekor induk kucing dengan anaknya. Induk kucing itu sangat menyayangi anaknya. Dialah yang mencari makan untuk anaknya meskipun anaknya sudah mulai besar. Karena selalu bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan mereka, induk kucing itu akhirnya sakit. Induk kucing itu lalu memanggil anaknya. Dia memberitahu tentang sakitnya dan menasehati anaknya agar belajar mencari makan.
Anak kucing yang manja dan malas itu keliru menerima nasihat ibunya. Ia merasa ibunya mengusir secara halus dan tidak sayang lagi kepadanya. Anak kucing itu lalu pergi meninggalkan induknya yang tua dan sakit-sakitan.


Anak kucing itu berjalan tak tentu tujuannya. Suatu saat ia mendongakkan kepalanya ke atas. Dia lihat sinar matahari dengan sinarnya menyilaukan. Dia berangan-angan kalau ibunya matahari, tentu hidupnya akan senang.
“Wahai, matahari yang perkasa maukah kamu mengambil aku sebagai anakmu?” Katanya lantang kepada matahari.
“Mengapa kamu ingin menjadi anakku?” Jawab matahari
“Karena aku ingin menjadi perkasa seperti engkau.”
“Di dunia ini aku tak selalu menang , tidak selalu perkasa. Masih ada yang bisa mengalahkan aku.”
“Siapakah itu?” Tanya si anak kucing.
“Awan. Awan sering menutupi wajahku sehingga tidak tampak olehmu.”
Mendengar jawaban matahari seperti itu, kucing itu mulai berpikir-pikir. Kalau begitu awan saja yang menjadi induknya. Dia pun mulai mencari awan dan bertanya kepada awan
“Awan yang baik hati, maukah kau menjadi ibuku?”
“Mengapa?” Tanya awan
“Kata Matahari kamu lebih hebat dari dia”
“Oo.. Kucing yang manis, masih ada yang bisa mengalahkan aku di bumi.”
“Siapa Dia ?”
“Angin! Jika angin datang menyerang, maka tubuhku tercerai-berai. Aku diterbangkan ke sana-kemari hingga hancur lebur menjadi air.”
Anak kucing itu diam saja mendengar keterangan awan . Dia berpikir lagi. Lalu ia berlari ke arah angin yang bertiup kencang.
“Angin, angin, maukah kamu menjadi ibuku?”
“Apa sebabnya kamu ingin menjadi anakku?”
“Karena kamu bisa bebas ke sana-kemari dan lebih hebat dari pada awan.”
“Jangan kamu kira aku selalu senang. Aku pun masih sering punya masalah karena masih ada yang lebih hebat dari pada aku.”
“Siapakah dia?” Tanya anak kucing itu dengan penasaran.
“Bukit. Bagaimana pun bebasnya aku bergerak, namun jika di depanku ada bukit, aku tak bisa meneruskan perjalananku.”
Mendengar kata angin itu, anak kucing tersebut segera berlari-lari ke arah bukit yang tinggi. Dan dia pun bertanya kepada bukit tersebut
“Bukit yang tinggi, maukah kamu mengangkat aku sebagai anakmu?”
“Apa yang kamu harapkan dariku?” Tanya bukit itu.
“Kamu gagah dan kuat. Aku ingin seperti engkau.”
“Hidupku pun tak lepas dari masalah. Masih ada yang sering mengganggu ketenanganku.” Jawab bukit itu.
“Benarkah ? Siapa Dia?”
“Kerbau. Dia sering menanduk badanku hingga rusak dan rata dengan tanah.”
Kucing itupun segera berlari ke arah kerbau yang ditambatkan. Nafasnya sudah mulai tersengal-sengal tetapi ia tak peduli. Setelah bertanya kepada kerbau, ternyata kerbau itu menyatakan bahwa rotan yang mengikat itulah yang membuat hidupnya tak tenang.
Lalu anak kucing itu berlari ke arah rumpun rotan. Menurut rotan, hidupnya pun tak senang, karena sering digigiti oleh serombonga tikus hingga badannya sakit semua. Mendengar jawaban rotan, kucing itu segera berlari ke arah lubang tikus. Di situ ada sebuah keluarga tikus. Anak kucing itu lalu mengutarakan maksudnya.
“Wahai tikus, maukah mengangkatku sebagai anak?” Induk tikus itu curiga, ada kucing ingin menjadi anak angkatnya.
“Apa tidak keliru bicaramu itu?” Tanya induk tikus waspada.
“Tidak. Saya bermaksud sungguh-sungguh” Jawab si anak kucing.
“Hidup kami juga sering ditimpa kemalangan. Di hutan ini ada binatang yang sering membunuh anak-anak kami menjadi santapannya.”
“Benarkah? Siapa pemberani itu?” Tanya si anak kucing.
“Di hutan ini ada seekor kucing tua yang sangat ditakuti anak-anakku. Beberapa hari ini anak-anak kami bisa bermain-main di luar karena kabarnya kucing betina tua itu kini sakit-sakitan. Apalagi anak satu-satunya yang paling disayangi meninggalkan dia. Kucing tua itu tampak menderita sekali. Sementara anaknya mencari kesenangan sendiri, tidak tahu terima kasih kepada ibunya.”
Mendengar keterangan yang panjang lebar itu, si kucing terduduk lemas. Dia sadar sekarang bahwa tindakannya selama ini keliru. Tak terasa matanya berlinang air mata. Ia merasa rindu sekali kepada ibunya. Dia merasa sangat berdosa kepada ibunya.
Tanpa mengingat letih, dia segera mencari ibunya. Dia tidak lagi menjadi kucing yang manja dan malas.


0 komentar:

Posting Komentar