Perjanjian dengan Ular - Jambi

Kamis, 20 Maret 2014
Ada sepasang suami istri yang belum dikaruniai anak, padahal mereka sudah lama menikah. Mereka juga sudah berusaha ke sana ke mari agar mempunyai anak sendiri namun keinginan itu belum terkabul.

Tiap hari mereka berdo’a. Pada suatu malam mereka bermimpi melihat seorang kakek tua. Kakek itu berkata kepada mereka,” Jika kalian ingin mempunyai anak, carilah rebung yang dililit ular sawah. Rebus dan makanlah rebung itu”.



Rebung adalah tunas bambu yang masih muda, bila dimasak dengan bumbu yang cocok rasanya memang lezat. Esok harinya suami istri itu mencari rebung yang dililit ular sawah.

Setelah mencari disekitar hutan bamboo, mereka mendapatkan bamboo yang dililit ular sawah.

Sang suami segera menceritakan mimpinya semalam kepada ular sawah. Si ular sawah segera angkat bicara setelah mendengar penuturan si suami.

“ Baiklah, akan kuberikan rebung ini. Tetapi tuan harus berjanji.”

“ Hai ular sawah apa yang harus kujanjikan?”

“ Jika anak yang lahir laki-laki ia menjadi milik tuan. Jika anak yang lahir perempuan ia akan menjadi miliku. Anak itu harus diserahkan kepadaku pada saat berusia tujuh tahun,” Kata ular sawah.

Karena demikian besarnya keinginan memiliki anak, tanpa piker panjang lagi si suami istri itu segera menyetujui perjanjian yang diajukan si ular sawah.

Rebung ditebas lalu dibawa pulang, dimasak dengan lezat lalu dimakan. Ajaib beberapa hari kemudian perut si istri mulai membesar. Sang istri benar-benar telah mengandung alias bunting. Setelah genap Sembilan bulan sang istri pun melahirkan.

Sejanak mereka gamebira namum kegembiraan itu segera sirna ketika mengetahui anak yang lahir adalah seorang anak perempuan. Namun nasi sudah menjadi bubur janji sudah terlanjur mereka ucapkan didepan si ular sawah, meski kecewa mereka memelihara anak itu dengan penuh kasih sayang, anak itu diberi nama Puti Kesumba.

Puti Kesumba tumbuh makin besar. Ketika ia berumur tujuh tahun, tiba saatnya untuk diserahkan kepada si ular sawah. Akan tetapi rasa sayang suami istri itu tidak dapat dikatakan lagi. Betapa berat hati seorang ayah dan ibu menyerahkan anak mereka kepada seekor ular. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak menepati janji. Puti Kesumba pun dilarang bermain diluar rumah. Semua keperluan Puti Kesumba mereka sediakan dan dilakukan didalam rumah.

Pada suatu hari, sang suami hendak pergi berlayar selama tiga bulan. Sang suami berpesan kepada sang istri agar menjaga Puti Kesumba baik-baik.

Sepeninggal sang suami, sang istri membawa Puti Kesumba mandi disungai. Ketika sedang asyik bermain, Puti Kesumba ditangkap ular sawah. Ia berteriak,” Tolong, Bu! Tolong…..!”

Ibunya terkejut, ia menyesal dan meratap sejadi-jadinya. Akan tetapi apa hendak dikata, kelengahannya membuat ia berpisah dengan anak kesayanganya.

Ular sawah itu membawa Puti Kesumba ke tebing yang menjorok ke tengah sungai. Tidak ada seorangpun dapat menjangkaunya.

Pada suatu hari, bertanyalah ular sawah kepada Puti Kesumba, “ Sudah seberapa besarkah hatimu, Puti?”

“ Masih kecil, baru sebesar pinang,” Jawab Puti. Tebing tempat Puti Kesumba berada itu selalu dilewati oleh orang yang pulang berlayar. Puti Kesumba selalu bertanya kepada mereka,” Hai, Bapak yang baru pulang berlayar, apakah bapak bertemu dengan ayah saya?”

“ Ya, ayahmy masih jauh,” Jawab bapak itu. Seminggu kemudian, ular sawah bertanya lagi pada Puti Kesumba,” Sudah seberapa besar hatimu, Puti?”

“ Baru sebesar mangga,” Jawan Puti Kesumba. Begitulah berturut-turut, dari sebesar mangga menjadi sebesar bola, kemudian sebesar kelapa. Ketika bulan ketiga hampir habis, bertanyalah ular saah,” Sudah seberapa besarkah hatimu, puti?”

“ Sudah sebesar nyiru,” jawab Puti kesumba. Setelah mendengar hal itu, ular sawah memanggil teman-temannya. Dia mengundang sepuluh ekor ular sawah. Mereka akan makan besar nanti malam, yaitu menyantap Puti Kesumba.

Ketika pesta akan dimulai, ayah Puti kesumba pulang dari berlayar. Perahunya penuh dengan pakaian. Ia pun lewat didekat tebing itu. Puti Kesumba langsung berteriak ketika ayahnya lewat,” Ayah, ambillah saya, ayah!”

Ayah Puti Kesumba terkejut. Ia mendekatkan perahunya ke tempat Puti kesumba berada. Dengan cepat ia menyambar Puti kesumba dan diangkatnya masuk kedalam perahu. Dengan cepat pula perahu dikayuh menjauh dari tempat itu.

Tepat pada saat itu, ular sawah dan teman-temannya datang. Ular sawah melihat Puti kesumba jauh di hulu sungai. Dia berteriak,” Wah, ayamku lepas…!”

Para undangan ular sawah pun menjawab,” Kunang! kunang! Aku makan kepalanya!”

“ Ayamku lepas…!”

“Kunang! kunang! Aku makan perutnya!”

“ Ayamku lepas…!”

“Kunang! kunang! Aku makan ekornya!”

Kesepuluh ekor ular sawah yang diundang itu pun menyerbu ular sawah yang mengundang. Bagi dunia ular pesta tidak boleh gagl, siapa yang mengundang tulah yang bertanggung jawab terhadap hidangan. Jika tak sanggup menyediakan maka si pengundang itulah yang disantap beramai-ramai. Dalam tempo yang tidak terlalu lama, ular sawah yang mengundang telah tiada. Seluruh badannya habis dimakan sepuluh ekor ular sawah temannya.

Sementara itu Puti Kesumba dan ayahnya tiba di rumah kembali. Puti kesumba mendapati ibunya sedang bergelung di tempat tidur. Badan ibunya kurus kering karena tidak makan sedikitpun. Telah tiga bulan lamanya ibunya menangis tiada henti. Puti Kesumba pun berlari ke dekat ibunya sambil menangis,” ibu, Puti pulang, Bu,”

Ibu Puti Kesumba menangis meraba Puti Kesumba. Ia mendekap Puti kesumba sepuas hati, sambil menangis tersedu-sedu mengenang saat ia kehilangan si anak di tepi sungai. Sejak saat itu keluarga itu hidup bahagia. Ular sawah yang mereka  takuti sudah tiada.


0 komentar:

Posting Komentar