Ada
sepasang suami istri yang belum dikaruniai anak, padahal mereka sudah lama
menikah. Mereka juga sudah berusaha ke sana ke mari agar mempunyai anak sendiri
namun keinginan itu belum terkabul.
Tiap
hari mereka berdo’a. Pada suatu malam mereka bermimpi melihat seorang kakek
tua. Kakek itu berkata kepada mereka,” Jika kalian ingin mempunyai anak,
carilah rebung yang dililit ular sawah. Rebus dan makanlah rebung itu”.
Rebung
adalah tunas bambu yang masih muda, bila dimasak dengan bumbu yang cocok
rasanya memang lezat. Esok harinya suami istri itu mencari rebung yang dililit
ular sawah.
Setelah
mencari disekitar hutan bamboo, mereka mendapatkan bamboo yang dililit ular
sawah.
Sang
suami segera menceritakan mimpinya semalam kepada ular sawah. Si ular sawah
segera angkat bicara setelah mendengar penuturan si suami.
“
Baiklah, akan kuberikan rebung ini. Tetapi tuan harus berjanji.”
“
Hai ular sawah apa yang harus kujanjikan?”
“
Jika anak yang lahir laki-laki ia menjadi milik tuan. Jika anak yang lahir perempuan
ia akan menjadi miliku. Anak itu harus diserahkan kepadaku pada saat berusia
tujuh tahun,” Kata ular sawah.
Karena
demikian besarnya keinginan memiliki anak, tanpa piker panjang lagi si suami
istri itu segera menyetujui perjanjian yang diajukan si ular sawah.
Rebung
ditebas lalu dibawa pulang, dimasak dengan lezat lalu dimakan. Ajaib beberapa
hari kemudian perut si istri mulai membesar. Sang istri benar-benar telah
mengandung alias bunting. Setelah genap Sembilan bulan sang istri pun
melahirkan.
Sejanak
mereka gamebira namum kegembiraan itu segera sirna ketika mengetahui anak yang
lahir adalah seorang anak perempuan. Namun nasi sudah menjadi bubur janji sudah
terlanjur mereka ucapkan didepan si ular sawah, meski kecewa mereka memelihara
anak itu dengan penuh kasih sayang, anak itu diberi nama Puti Kesumba.
Puti
Kesumba tumbuh makin besar. Ketika ia berumur tujuh tahun, tiba saatnya untuk
diserahkan kepada si ular sawah. Akan tetapi rasa sayang suami istri itu tidak
dapat dikatakan lagi. Betapa berat hati seorang ayah dan ibu menyerahkan anak
mereka kepada seekor ular. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak menepati
janji. Puti Kesumba pun dilarang bermain diluar rumah. Semua keperluan Puti
Kesumba mereka sediakan dan dilakukan didalam rumah.
Pada
suatu hari, sang suami hendak pergi berlayar selama tiga bulan. Sang suami
berpesan kepada sang istri agar menjaga Puti Kesumba baik-baik.
Sepeninggal
sang suami, sang istri membawa Puti Kesumba mandi disungai. Ketika sedang asyik
bermain, Puti Kesumba ditangkap ular sawah. Ia berteriak,” Tolong, Bu!
Tolong…..!”
Ibunya
terkejut, ia menyesal dan meratap sejadi-jadinya. Akan tetapi apa hendak
dikata, kelengahannya membuat ia berpisah dengan anak kesayanganya.
Ular
sawah itu membawa Puti Kesumba ke tebing yang menjorok ke tengah sungai. Tidak
ada seorangpun dapat menjangkaunya.
Pada
suatu hari, bertanyalah ular sawah kepada Puti Kesumba, “ Sudah seberapa
besarkah hatimu, Puti?”
“
Masih kecil, baru sebesar pinang,” Jawab Puti. Tebing tempat Puti Kesumba berada
itu selalu dilewati oleh orang yang pulang berlayar. Puti Kesumba selalu
bertanya kepada mereka,” Hai, Bapak yang baru pulang berlayar, apakah bapak
bertemu dengan ayah saya?”
“
Ya, ayahmy masih jauh,” Jawab bapak itu. Seminggu kemudian, ular sawah bertanya
lagi pada Puti Kesumba,” Sudah seberapa besar hatimu, Puti?”
“
Baru sebesar mangga,” Jawan Puti Kesumba. Begitulah berturut-turut, dari
sebesar mangga menjadi sebesar bola, kemudian sebesar kelapa. Ketika bulan
ketiga hampir habis, bertanyalah ular saah,” Sudah seberapa besarkah hatimu,
puti?”
“
Sudah sebesar nyiru,” jawab Puti kesumba. Setelah mendengar hal itu, ular sawah
memanggil teman-temannya. Dia mengundang sepuluh ekor ular sawah. Mereka akan
makan besar nanti malam, yaitu menyantap Puti Kesumba.
Ketika
pesta akan dimulai, ayah Puti kesumba pulang dari berlayar. Perahunya penuh
dengan pakaian. Ia pun lewat didekat tebing itu. Puti Kesumba langsung
berteriak ketika ayahnya lewat,” Ayah, ambillah saya, ayah!”
Ayah
Puti Kesumba terkejut. Ia mendekatkan perahunya ke tempat Puti kesumba berada.
Dengan cepat ia menyambar Puti kesumba dan diangkatnya masuk kedalam perahu.
Dengan cepat pula perahu dikayuh menjauh dari tempat itu.
Tepat
pada saat itu, ular sawah dan teman-temannya datang. Ular sawah melihat Puti
kesumba jauh di hulu sungai. Dia berteriak,” Wah, ayamku lepas…!”
Para
undangan ular sawah pun menjawab,” Kunang! kunang! Aku makan kepalanya!”
“
Ayamku lepas…!”
“Kunang!
kunang! Aku makan perutnya!”
“
Ayamku lepas…!”
“Kunang!
kunang! Aku makan ekornya!”
Kesepuluh
ekor ular sawah yang diundang itu pun menyerbu ular sawah yang mengundang. Bagi
dunia ular pesta tidak boleh gagl, siapa yang mengundang tulah yang bertanggung
jawab terhadap hidangan. Jika tak sanggup menyediakan maka si pengundang itulah
yang disantap beramai-ramai. Dalam tempo yang tidak terlalu lama, ular sawah
yang mengundang telah tiada. Seluruh badannya habis dimakan sepuluh ekor ular
sawah temannya.
Sementara
itu Puti Kesumba dan ayahnya tiba di rumah kembali. Puti kesumba mendapati
ibunya sedang bergelung di tempat tidur. Badan ibunya kurus kering karena tidak
makan sedikitpun. Telah tiga bulan lamanya ibunya menangis tiada henti. Puti
Kesumba pun berlari ke dekat ibunya sambil menangis,” ibu, Puti pulang, Bu,”
Ibu
Puti Kesumba menangis meraba Puti Kesumba. Ia mendekap Puti kesumba sepuas
hati, sambil menangis tersedu-sedu mengenang saat ia kehilangan si anak di tepi
sungai. Sejak saat itu keluarga itu hidup bahagia. Ular sawah yang
mereka takuti sudah tiada.
0 komentar:
Posting Komentar