Dahulu, di sebuah
gubuk kecil pada tengah sawah, tinggallah seorang janda miskin dengan anaknya
yang bernama Banta Barensyah. Dinding gubuk itu terbuat dari bambu dan beratap
ilalang. Pakaiannya sudah bertambal-tambal dan hanyalah yang melekat di
badannya saja.
Untuk menyambung
hidup, sehari-hari janda itu menampi sekam di sebuah kincir padi. Kadangkala
janda ini mendapat segenggam atau dua genggam beras. Beras inilah yang ditanak
di gubuk. Banta Barensyah membantu ibunya mengumpulkan sekam yang belum
ditampi.
Sebenarnya Ibu
Barensyah mempunyai seorang saudara yang kaya raya, Jakub namanya. Jakub
seorang saudagar yang sangat kaya di kampung itu. Namun sayang ia loba dan
tamak.
Pada suatu hari,
karena tidak ada orang menumbuk padi di kincir padi, maka Banta Barensyah dan
ibunya tak dapat menampi sisa-sisa beras. Jadi hari itu tak ada yang masak.
Banta Barensyah bermaksud pergi ke rumah pamannya—Jakub.
“Jangan anakku, dia
sudah tidak mau mengakui kita sebagai saudara,” ibunya memperingatkan.
Tapi Banta Barensyah
tetap juga berangkat. Harapannya semoga pamannya itu masih punya belas kasihan
dan memberinya beras barang segenggam atau dua genggam.
Namun begitu sampai di
haiaman rumah, Jakub sudah menghardik Banta Barensyah.
“Mau apa kau datang
kemari?”
“Kami lapar Paman,
berilah kami sedikit beras.”
“Dasar keluarga
pemalas, tak malu jadi pengemis, pergi sana!” bentak Jakub dengan suara garang.
“Paman...”
“Sudah! Pergi sana!”
hardik Jakub disambung dengan ucapan- ucapan pedas yang menyakitkan hati. Banta
Barensyah pulang dengan hati kecewa.
Syahdan, ada sebuah negeri yang letaknya tidak begitu jauh
dengan tempat tinggal Banta Barensyah. Negeri itu diperintah oleh seorang raja
yang adil dan bijaksana. Karena sikapnya ini ia dicintai oleh segenap
rakyatnya.
Baginda mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama
Putri Terus Mata. Dinamakan demikian karena sang Putri sangat cerdas, seolah
pandangannya mampu menembus segala sesuatu.
Sudah banyak para pangeran dan raja yang ingin melamar Putri
Terus Mata, namun semua ditolak secara halus. la hanya berkata bahwa pria yang
diterima sebagai calon suaminya adalah pria yang dapat memberinya pakaian emas
dan suasa.
Kabar ini segera tersebar ke seluruh negeri. Banta Barensyah juga
mendengarnya. la ingin mengadu untung. Siapa tahu nasibnya akan berubah lebih
baik. Niat itu didukung oleh ibunya.
“Tapi Nak aku tak dapat memberimu bekal
apa-apa,” kata ibunya dengan derai air mata.
“Hanya do’a yang saya perlukan dari Ibu. Do’akanlah anakmu
dan relakanlah pergi merantau.”
Esok harinya setelah mencium tangan ibunya, Banta Barensyah
berangkat menuju rumah Jakub. la membawa daun talas dan sebuah seruling.
“Mau apa lagi kau datang kemari?” tanya Jakub.
“Paman, mohon ijinkan saya ikut berlayar dengan kapal Paman.
Nanti bila sampai di tengah lautan saya akan turun.”jawab Barensyah.
Jakub setuju, dengan turun di tengah lautan anak itu akan
mati, pikirnya. Dan dia tak lagi merasa malu mempunyai keponakan yang miskin.
Demikianlah setelah sampai di tengah lautan Banta Barensyah
minta diturunkan, sebab ia ingin meneruskan perjalanan ke arah barat sedangkan
pamannya ingin berlayar ke arah utara.
“Dasar anak malas, baiknya kau mati di tengah lautan!” kata
Jakub dengan rasa geram. la masih belum mengerti apa maksud keponakannya
berlaku demikian.
Barensyah duduk di atas daun talas. Bergeraklah daun talas
itu dihempas gelombang. Dengan bantuan angin sampailah Barensyah ke tempat yang
dituju. Di negeri ajaib ini ia mencari para tukang tenun. Dengan susah payah ia
bertemu dengan rumah tukang tenun yang terdiri dari tujuh orang putri pandai
tenun. Masing-masing putri itu mempunyai ruangan tenun sendiri-sendiri.
Dengan sopan dan tertib ia menemui tujuh pengawal dan
mengatakan maksudnya, kemudian barulah ia bertemu dengan si Pandai Tenun.
Sekali pandang tahulah si Pandai Tenun bahwa Barensyah
hanyalah pemuda miskin. “Anak muda, dengan apakah kau bayar pakaian itu kelak?”
Barensyah menjawab dengan tersipu malu, “Saya memang tidak mempunyai
uang, tapi bolehkah saya membayarnya dengan lagu.”
“Dengan lagu?” gumam si Pandai Tenun heran. “Tapi, baikiah,
kau boleh coba memainkan serulingmu terlebih dahulu.”
Barensyah meniup serulingnya dengan lagu-lagu yang merdu.
Demikian merdunya hingga si Pandai Tenun merasa puas, lalu ia mempersilakan
Barensyah untuk memilih pakaian yang diinginkan. Namun pakaian yang dicari tak
ada.
Barensyah pergi ke Pandai Tenun kedua, ketiga, keempat namun
pakaian emas dan suasa tidak ditemukannya. Hampir ia putus asa, namun pada
Pandai Tenun ketujuh ia memperoieh pakaian yang dicarinya itu. Betapa gembira
hati Barensyah. la segera menyimpan pakaian itu ke dalam serulingnya. Setelah
mengucapkan terima kasih ia segera berpamit meninggalkan Pandai Tenun ketujuh.
Dengan hati riang gembira Barensyah berlayar dengan daun
talas ajaibnya. Seekor burung elang mengikuti perjalanan Barensyah di atas
udara. Di tengah laut ia bertemu dengan kapal pamannya, ia berteriak minta ijin
menumpang. Kaget dan heran Jakub melihat keponakannya itu masih hidup. la
sebenarnya tak mau ditumpangi Barensyah, namun ketika melihat sehelai benang
berkilat yang tersembul di lubang seruling, ia perintahkan anak buahnya untuk
mengangkat Barensyah ke atas kapal.
Begitu Barensyah sampai di geladak kapal, seruling itu
langsung dirampas oleh Jakub. Sementara anak buah Jakub yang telah diberi
isyarat segera melemparkan Barensyah ke laut. Dengan penuh rasa penasaran, Jakub menarik benang
seruling, seketika terjurailah pakaian yang menyilaukan mata karena terbuat
dari emas dan suasa.
“Hahaha....dasar nasibku memang mujur!” kata Jakub. “Akulah
yang akan menjadi suami Putri Terus Mata.”
Barensyah yang dilempar ke laut terdampar di tepi pantai. la
ditemukan oleh sepasang suami-istri pencari ikan. Sepasang suami istri ini
segera membawa Barensyah pulang ke rumahnya. Setelah beberapa hari tinggal di
rumah sepasang suami istri itu, ia minta diri.
“Terima kasih atas pertolongan kalian, saya tak tahu dengan
apa harus membalasnya kelak. Sekarang ijinkan saya menengok ibu saya yang sudah
tua.”
“Barensyah, kau tak usah merasa berhutang budi, asal kau
masih mau mengakui kami sebagai orang tua angkat kami sudah merasa senang dan
gembira.”
Dengan sedih ibu-bapak angkat Barensyah melepas kepergian
anak muda itu. Dia diberi bekal sekedarnya juga pakaian yang pantas untuk
ibunya.
Demikianlah, Barensyah pulang ke kampung halamannya. la
disambut dengan gembira oleh ibunya. Karena sudah lama sang ibu merindukannya.
Barensyah menyampaikan oleh-oleh dari orang tua angkatnya yang diterima dengan
penuh rasa syukur oleh ibu kandungnya.
Tidak berapa lama sesudah itu upacara akad nikah antara Jakub
dengan putri raja hampir saja dimulai. Tiba-tiba dari udara terdengar bunyi
burung elang berulang-ulang, “Jakub curang... klik... klik... klik... baju itu
bukan miliknya tapi milik Barensyah, klik…klik…klik…!” Semua orang terkejut
mendengar suara burung ajaib itu. Seketika wajah Jakub menjadi pucat karena
malu. Sementara itu Barensyah sudah datang menghadap Baginda raja.
“Benarkah baju emas dan suasa itu milikmu?” tanya Banginda.
“Benar Baginda Paman Jakub telah
merampasnya dari tangan hamba.”
Tubuh Jakub menggigil karena takut dan malu. la melompat ke
jendela dan melarikan diri. Sore itu juga Barensyah dinikahkan dengan Putri
Terus Mata. Pernikahan itu dirayakan dengan pesta meriah selama beberapa hari.
Ibu Barensyah ikut diundang ke istana, diberi pakaian yang bagus dan
indah-indah. Seisi istana bergembira ria.
Barensyah dan Putri Terus Mata hidup berbahagia sebagai suami
istri. Pada suatu hari, karena merasa usianya sudah terlalu tua, Baginda
mengundurkan diri, ia menyerahkan jabatannya kepada Banta Barensyah.
Jakub yang telah menyia-nyiakan Barensyah dan ibunya kini
merasa sangat malu. Ia bermohon agar mendapat hukuman sesuai dengan dosanya.
Seketika itu juga Jakub menjadi batu.
0 komentar:
Posting Komentar