Cerita ini berasal dari Suku Rejang. Dahulu di sebuah desa
terpencil hidup tujuh orang bersaudara.Nasib mereka sungguh malang,mereka sudah
menjadi yatim piatu semenjak si bungsu lahir.Tujuh saudara itu terdiri dari
enam orang laki-laki dan seorang perempuan.Si bungsu itulah yang
perempuan.Namanya putri sedoro putih.Tujuh orang bersaudara itu hidup sebagai
petani dengan menggarap sebidang tanah di tepi hutan.Si bungsu sangat disayangi
keenam saudaranya itu.Mereka selalu memberikan perlindungan bagi keselamatan si
bungsu dari segala macam marabahaya.Segala kebutuhan si bungsu mereka usahakan
terpenuhi dengan sekuat tenaga.
Pada suatu malam,ketika putri sedoro putih tidur,ia bermimpi
aneh.Ia didatangi seorang laki-laki tua."Putri Sedoro Putih,kau ini sesungguhnya
nenek dari keenam saudaramu itu.Ajalmu sudah dekat,karena itu bersiaplah engkau
menghadapinya".
"Saya segera mati?" tanya Putri Sedoro Putih dengan
penuh penasaran.
"Benar,dan dari pusaran kuburanmu, nanti akan tumbuh sebatang
pohon yang belum pernah ada pada massa ini.Pohon itu akan banyak memberi
manfaat bagi umat manusia." Setelah memberi pesan demikian lelaki tua itu
, lenyap begitu saja. Sementara Putri Sedaro Putih langsung terbangun dari
tidurnya.Ia duduk termangu memikirkan arti mimpinya.
Putri sedaro putih sangat terkesan akan mimpinya itu, sehingga
setiap hari ia selalu terbayang akan kematiannya. Makan dan minum terlupakan
olehnya. Hal ini mengakibatkan tubuhnya menjadi kurus dan pucat. Saudara sulung
sebagai pengganti orang tuanya sangat memperhatikan Putri Sedoro Putih. Ia
menanyakan apa sebab adiknya sampai bersedih hati seperti itu. Apakah ada
penyakit yang di idapnya sehingga perlu segera di obati ? Jangan sampai
terlambat diobati sebab akibatnya menjadi parah .
Dengan menangis tersedu-sedu Putri Sedoro Putih menceritakan semua
mimpi yang dialamainya beberapa waktu yang lalu.
Kata sedaro putih,"Kalau cerita dalam mimpi itu benar, bahwa
dari tubuhku akan tumbuh pohon yang mendatangkan kebahagiaan orang banyak, aku
rela berkorban untuk itu."
"Tidak adiku, jangan secepat itu kau tinggalkan kami. Kita
akan hidup bersama, sampai kita memperoleh keturunan masing-masing sebagai
penyambung generasi kita. Lupakanlah mimpi itu. Bukankah mimpi sebagai hiasan
tidur bagi semua orang ?", kata si sulung menghibur adiknya.
Hari-hari berlalu tanpa terasa. Mimpi itu pun telah dilupakan.
Putri Sedoro Putih telah kembali seperti sempula, seorang gadis periang yang
senang bekerja di huma. Hasil panen pun telah dihimpun sebagai bekal mereka
selama semusim.
Pada suatu malam, tanpa menderita sakit terlebih dahulu Putri
Sedaro Putih meninggal dunia. Keesokan harinya, keenam saudaranya menjadi
gempar dan meratapi adik kesayangannya itu. Mereka menguburkannya tidak jauh
dari rumah kediaman mereka.
Seperti telah diceritakan oleh Putri Sedoro Putih. Di tengah
pusaranya tumbuh sebatang pohon asing. Mereka belum permah melihat pohon
seperti itu. Pohon itu mereka pelihara dengan penuh kasih sayang seperti
merawat Putri Sedaro Putih. Pohon itu mereka beri nama Sedaro Putih.
Disamping pohon itu, tumbuh pula pohon kayu kapung yang sama
tingginya dengan pohon Sedaro Putih. Pohon itu pun dipelihara sebagai pohon
pelindung .
Lima tahun kemudian. Pohon Sedaro Putih mulai berbunga dan
berbuah. Jika angin berhembus, dari dahan kayu kapung selalu memukul tangkai
buah Sedaro Putih sehingga menjadi memar dan terjadilah peregangan. Sel-sel
yang mempermudah air pohon Sedaro Putih mengalir ke arah buah.
Pada suatu hari, seorang saudara Sedaro Putih berziarah ke kuburan
itu. Ia beristirahat melepaskan lelah sambil memperhatikan pohon kapung selalu
memukul tangkai buah pohon Sedaro Putih ketika angin berhembus. Pada saat itu,
datang seekor tupai menghampiri buah pohon Sedaro putih dan menggigitnya sampai
buah itu terlepas dari tangkainya. Dari tangkai buah yang terlepas itu,
keluarlah cairan berwarna kuning jernih. Air itu dijilati tupai sepuas
-puasnya. Kejadian itu diperhatikan saudara Sedaro Putih sampai tupai tadi pergi
meninggalkan tempat itu.
Saudara sedaro putih mendekati pohon itu. Cairan yang menetes dari
dari tangkai buah ditampungnya dengan telapak tangan lalu dijilat untuk
mengetahui rasa air tangkai buah itu. Ternyata, air itu terasa sangat manis.
Dengan muka berseri ia pulang menemui saudara-saudaranya. Semua peristiwa yang
telah disaksikannya, diceritakan kepada saudara-saudaranya untuk dipelajari.
Cerita itu sungguh menarik perhatian mereka.
Lalu mereka pun sepakat untuk menyadap air tangkai buah pohon
sedaro putih. Tangkai buah pohon itu dipotong dan airnya yang keluar dari bekas
potongan ditampung dengan tabung dari seruas bambu yang disebut tikoa.
Setelah sutu malam, tikoa itu hampir penuh. Perolehan pertama
itu mereka nikmati bersama sambil berbincang bagaimana cara memperbanyak ketika
berziarah ke kubur putri sedaro putih.
Urutanya sebagai berikut. Pertama, menggoyang goyang kan tangkai
buah pohon Sedaro Putih seperti dilakukan oleh angin. Lalu memukul tangkai buah
itu dengan kayu kapung seperti yang terjadi ketika kayu kapung dihembus angin.
Akhirnya, mereka memotong tangkai buah seperti dilakukan oleh tupai. Tabung
bambu pun digantungkan disana.
Ternyata, hasilnya sama dengan sadapan pertama. Perolehan mereka
semakin hari semakin banyak karena beberapa tangkai buah yang tumbuh dari pohon
Sedaro Putih sudah mendatangkan hasil.
Akan tetapi, timbul suatu masalah bagi mereka, karena air sadapan
itu akan masam jika disimpan terlalu lama. Lalu, mereka sepakat untuk membuat
suatu percobaan dengan memasak air sadapan itu sampai kental. Air yang
mengental itu didinginkan sampai keras membeku dan berwarna kekuningan.
Semenjak itu, pohon Sedaro Putih dijadikan sumber air sadapan yang
manis. Pohon itu kini dikenal sebagai pohon enau atau pohon aren. Air yang
keluar dari tangkai buah dinamakan nira, sedangkan air nira yang dimasak sampai
mengental dan membeku disebut gula merah.
0 komentar:
Posting Komentar